kelakar kopong

Aku melihatmu dan jika mau lihatlah aku apabila telah sampai momentumnya mari kita melihat kedepan

Kamis, 19 April 2012

Kagumku

Entah mengapa?

ketidaksengajaan itu berbuah menjadi gemuruh gendang jantung yang begitu cepat,deras, kuat dan tak beraturan layaknya perkusi jalanan yang bergelora menggema hingga kesudut kota, memaksa deras aliran darah berjejal berlarian terburu-buru ke otak kanan ini hingga aku tak tau harus berkata apa dan berbuat apa, aku terperanga pada sosok dirimu yang jauh disana.

Entah mengapa? 

Ketidaknyamanan terjadi ketika sesuatu tak sengaja itu melihatmu, kemudian dengan gesitnya aku merekam setiap mili gerak-gerikmu, menikmati pesona senyummu, dan mengagumi kesederhanaanmu, apa adanya dirimu, padahal aku tak kenal siapa sosok di balik kacamataku ini.

ya aku rasa aku mengagumimu

tapi apakah aku pantas kagum pada dia dalam waktu sekejap ini, hah, aku rasa aku sudah gila, atau ada maksud lain dari genderang jantungku yang tiba-tiba datang, tapi apa maksud lain itu? apakah ada suatu mission imposible yang harus aku pecahkan dari dia, aku bingung ya aku bingung, padahal aku hanya melihat sosok wanita yang biasa saja parasnya, yang tidak terlalu cantik, dan tidak ada istimewanya, aku tidak suka dengan kebiasaannya, tapi aku kagum semua itu, oh tidak, semua ini sungguh diluar nalarku, aku rasa aku sudah benar-benar gila, sampai-sampaiaku tak dapat lagi mengendalikan jiwa ini, terombang ambing oleh senyumannya yang terus mengikuti langkahku.
aku melihatmu, dalam curi-curian pandang, fokus dan tak mau lari darimu sedetikpun, suatu permainan klasik yang suka aku mainkan dikala momentum ku bersamamu dan merasakan menjadi orang yang sombong ketika curi curianku kau ketahui.
apa lagi ketika kesunyian malam telah datang menyelimuti, semua bintang tertawa mentertawaiku terbahak-bahak, melihat mataku masih terbelalak terngiang skenario yang aku rekam darimu, dan ketika skenario itu hidup, tak sengaja imajinasiku bermain menghayal tinggi yang memaksa aku untuk senyum dengan sendirinya.
ingin ku berontak, melawannya, memerangi setiap tembakan stimulus  yang dia berikan bertubi-tubi padaku, tapi nurini ku tak bisa bohong dengan kekhusyukan kenikmatan ini, setiap kali aku berontak setiap itu juga tensi kagumku meningkat, bahkan dua kali dari pemberontakan ku

ya aku masih bingung,

aku kagum atau lebih dari kagum?

Itu pertanyaan yang mesti aku tanyakan pada siapa?
Aku tak mau telarut dalam manisnya imajinasi ini, dan aku tidak mau kagumku naik kelas yang lebih tinggi lagi, karna aku yakin aku bukan pemeran pendampingmu dalam nyatanya,tapi biarlah, imajinasi ku indah dan akan lebih indah jika kau tau ceritanya, alur cerita yang penuh klimaks, dan semua klimaks itu tak akan bisa dikalahkan oleh sinetron cinta terhebat sekalipun, pasti khayalan itu sedikit mengelitik rasamu padaku, tapi sedikit,ya mau bagaimana lagi,
aku mengerti, kau sudah tau akan kagumku, aku mengerti tiap gerakan pelan menjauhmu, menjaga semuanya agar terlihat harmonis dan tidak pernah terjadi apa-apa, ya, aku hanya mempunyai lensa cekung di dekat mataku untuk melihatmu, dan hanya bisa merasakan bayanganmu yang maya, terbalik dan diperkecil,

iya aku hanya bisa merasakan dan memilikimu di mayanya pikiranku,
iya kau melangkah dan berlari terbalik dengan tujuanku,
iya hanya cinta  kecil dan akan diperkecil yang bisa kau berikan,
tapi itu tidak masalah, aku juga takut jika kagumku menjelma berubah menjadi sesuatu yang lain yang lebih luar biasa lagi, aku sudah melihatmu, terlanjur terperangkap dalam jaring yang kuat dan tak bisa melepasnya sekarang aku hanya bisa menikmati, dan menghayati secara nyata, apakah cerita selanjutnya sesuai dengan skenario imajinasiku atau malah sebaliknya.

kita lihat saja ceritanya.

Rabu, 18 April 2012

SEPOTONG SORE DAN HUJAN

"Aku masih merasakan udara yang sama. Masih berdiam ditempat yang sama. Tapi yang kurasakan tak lagi sama, kesunyiaan ini bernama tanpamu."(kutipan film).

Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan.
Sederhana saja. Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya, tatapannya mengganggu laju kerja otak, dan gerak-geriknya memaksaku agar tidak melewati setiap inci perpindahannya. Lalu, semua terjadi begitu saja. Saat sapa lembutnya menjaring nyata menyentuh gendang telinga, saat percakapan kecil yang tercipta berubah menjadi deretan narasi nyata, aku dan dia, mengalir, begitu saja, seperti curah lembut hujan yang jatuh ke permukaan. Sederhana sekali, cinta memang selalu menuntut kesederhanaan.

Dia mengajariku banyak hal. Cara menari dalam hujan, cara tertawa dalam kesedihan, cara menghargai perbedaan, dan cara bermimpi walau dalam kemustahilan.

Seringkali aku menatapnya dalam-dalam, menyelami sejuk matanya, tercebur dalam hatinya, lalu terpeleset dalam aliran darahnya. Aku sangat ingin menjadi bagian dalam setiap detak jantungnya, aku ingin ikut berhembus saat helaan nafasnya. Tapi, apa semua ingin dan harapku akan menyentuh kenyataan? Inilah yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi.

Tahu-tahu, sosok dia menjadi sangat penting dalam setiap bangun pagi hingga tidur malamku. Sedetik, semenit, sejam, seharian, hanya dia saja yang begitu rajin menghampiri otakku. Aku ragu kalau dia tak punya kerjaan lain selain mengganggu pikiran dan imajinasiku.

Ah, kala itu, cinta tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana, berangsur-angsur tingkatannya berbeda, hingga ia menjelma menjadi dua kata, luar biasa. Perasaan itu tak lagi sekedar teman biasa, tapi dia berevolusi menjadi lebih dari teman biasa.

Ah! Hujan ternyata masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku padamu! berdosakah aku kalau masih saja memikirkan. Mengajariku menghargai rintik hujan, menghargai deras rindunya, menghargai butir-butir kenangan halusnya.
               
 Hujan kali ini, di sepotong sore yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada rasa kehilangan, tentu saja rasa yang begitu dalam.

Aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana.
Rindu memang selalu sederhana kan? 
Cara terbaik adalah menahannya, melupakannya, atau mungkin membuangnya jauh dari otak saya, segera!
Berhasil atau tidak? Itu urusan belakangan.

Jika saya rindu, cukup menatap jendela, mengetuk-ngetuknya dengan tangan, berharap nafasmu ikut berembun disitu. Terobati atau tidak? Itu urusan belakangan